Perspektiftoday-Nama lelaki surga ini adalah Shilah bin Asyyam. Sosok shaleh yang gemar melakukan shalat sunnah Tahajjud ini ditakuti oleh hewan buas yang melihatnya. Oleh Imam Ibnul Jauzi sebagaimana disebutkan dalam Shaid al-Khatir, sosok ini senantiasa berdoa, “Rabbku, jauhkanlah aku dari neraka!” Lanjutnya dengan nada merendahkan diri di hadapan Rabbnya, “Orang sepertiku mau meminta surga?!”
Mari amati kalimat nan menggerakkan jiwa ini. Kalimat yang lahir dari sosok shaleh yang senantiasa berkomunikasi dengan Allah Ta’ala saat sebagian besar manusia nyenyak dalam tidur kelalaiannya. Sosok yang baginya, surga amat dekat. Bahkan, ia bisa mencium wangi semerbak surga ketika badannya ada di atas bumi.
Senada dengan perkataannya, ‘Umar bin Khaththab yang merupakan Khalifah kedua kaum muslimin ini bermunajat, “Aku cuma menginginkan keselamatan tanpa anugerah pahala dan beban dosa.”
Bahkan sekelas ‘Umar menyampaikan kalimat seperti itu. Lantas, bagaimana dengan kita yang jauh kelas takwanya dari sahabat yang sekaligus mertua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini?
Orang seperti kita mau meminta surga?
Pantaskah? Sementara yang wajib kita kerjakan seenaknya; amalan sunnah sering kita lalaikan; amalan mubah kita perbanyak hingga terkesan berlebihan; sedangkan yang makruh dan haram, secara sembunyi-sembunyi kita kerjakan?
Orang seperti kita hendak memohon surga?
Padahal, shalat lima waktu yang seharusnya dikerjakan di masjid sering kita lalaikan? Puasa sunnah amat jarang kita kerjakan meski tanpa udzur yang dibolehkan oleh-Nya? Membaca al-Qur’an amat jarang kita kerjakan padahal koran, berita dan bacaan lainnya menjadi seperti kebutuhan dan tak pernah kita tinggalkan?
Pantaskah orang seperti kita meminta surga?
Jika yang senantiasa menjadi kebiasaan adalah mengonsumsi berita yang tak jelas di berbagai media? Jika yang pertama kali kita buka adalah laman berita ngawur atau sekadar agar tidak dibilang kurang informasi? Jika yang menjadi kehidupan kita hanya tayangan televisi, berburu film baru, dan belanja yang tak jelas manfaatnya?
Layakkah orang seperti kita masuk surga?
Sementara Subuh saja sering kesiangan? Dhuhur ala kadarnya sebab kelelahan? Ashar di akhir waktu sebab dalam perjalanan? Lalu Maghrib kita kerjakan terburu-buru sebab mengejar kendaraan agar sampai rumah tak kemalaman? Dan kita mengakhiri Isya’ dengan sisa-sisa kelelahan sehingga tak terdapat sedikit pun khusyuk di dalamnya?
Rabbi, layakkah kami memasuki surga-Mu? Tapi kami paham, Kehendak-Mu di atas segalanya. Dan, semoga Engkau kurniakan Rahmat kepada kami untuk memasuki surga-Mu. Aamiin.