Menimbang Untung Rugi Teknologi Baru di Ladang

Perspektif.today_Di tengah desakan modernisasi pertanian, petani Indonesia kini dihadapkan pada dilema klasik: berpegang pada alat dan cara lama yang sudah terbukti atau mencoba teknologi baru yang masih diselimuti ketidakpastian. Dua pendekatan analisis membantu memecahkan dilema ini: ekonomi teknik dan tekno ekonomi.

Majid Muthahhari Manik
Majid Muthahhari Manik

Pekan lalu, di sela gelaran Expo Pertanian di Sleman, Yogyakarta, seorang petani padi dari Klaten tampak serius mengamati stand mesin pemanen otomatis. Harganya selangit: Rp350 juta per unit. “Kalau hasil panen naik dan ongkos buruh turun, mungkin layak dibeli,” katanya ragu. Keraguan ini mewakili suara mayoritas petani gurem di negeri ini: antara mau maju dan takut rugi.

Di sinilah konsep ekonomi teknik berperan. Disiplin ini membantu petani atau pengusaha tani menilai untung rugi investasi alat atau sistem pertanian yang teknologinya sudah mapan. Irigasi tetes, misalnya. Berapa modal awal? Berapa penghematan air dan pupuk? Berapa kenaikan hasil panen? Semua dihitung dalam bentuk angka: NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), hingga payback period. Jika semua parameter menunjukkan hasil positif, investasi ini layak jalan.

Namun, cerita berbeda muncul dari sebuah balai penelitian bioteknologi di Bogor. Di sana, sekelompok peneliti mengembangkan biopestisida berbasis mikroba lokal. Produk ini digadang-gadang mampu menggantikan pestisida kimia yang mahal dan berbahaya. Sayangnya, meski hasil uji laboratorium gemilang, jalan menuju komersialisasi masih panjang.

“Kami harus studi tekno ekonomi lebih dulu,” kata salah seorang peneliti senior di balai tersebut. Pasalnya, produksi massal biopestisida tak semudah mencampur larutan di laboratorium. Dibutuhkan fasilitas fermentasi skala industri, pengemasan steril, serta distribusi dingin. Biayanya tak kecil. Belum lagi pertanyaan: apakah petani mau beralih dari pestisida konvensional ke produk baru ini?

Inilah peran tekno ekonomi: mengukur kelayakan teknologi baru yang belum tentu teruji di pasar. Studi ini tak hanya soal teknis—apakah bisa diproduksi massal—tetapi juga soal bisnis—apakah ada pasar—regulasi—apakah sudah ada izin edar—hingga kesiapan infrastruktur.

Perbedaannya jelas. Pada kasus irigasi tetes, petani bisa langsung menimbang hasil dan biaya. Teknologi sudah matang. Sedangkan pada kasus biopestisida, semua masih tanda tanya. Jika hasil studi tekno ekonomi menunjukkan ongkos produksi mahal atau pasar enggan membeli, maka teknologi ini belum layak diluncurkan.

Pemerintah pun menyadari beda dua pendekatan ini. Kementerian Pertanian lewat program Modernisasi Alsintan mendorong adopsi alat mesin pertanian berbasis studi ekonomi teknik. Sementara untuk hasil riset inovatif seperti pupuk hayati atau benih rekayasa genetika, kementerian terkait menuntut kajian tekno ekonomi sebelum diberikan dana komersialisasi.

Tak semua studi berjalan mulus. Drone penyemprot pestisida misalnya, sempat digembar-gemborkan sebagai solusi kekurangan buruh tani. Namun studi tekno ekonomi di Jawa Timur menunjukkan harga drone dan biaya pelatihan operator masih terlalu tinggi bagi petani kecil. Teknologinya bagus, tapi pasar belum siap.

Di balik istilah rumit ini, nasib petani menjadi taruhan. Salah pilih alat bisa rugi besar. Salah adopsi teknologi bisa ditinggal pasar. Karena itu, menurut seorang akademisi pertanian dari Yogyakarta, edukasi ke petani harus ditingkatkan. Jangan cuma ikut-ikutan beli alat mahal atau pakai produk baru. Harus tahu hitungannya, harus ada studi ekonominya.

Kini pilihan makin beragam. Mesin tanam padi otomatis buatan Jepang, pupuk organik cair dari startup lokal, hingga platform digital untuk jual beli hasil panen. Semua menggoda. Tapi semua butuh diuji: apakah layak dari sisi ekonomi teknik atau tekno ekonomi?

Bagi petani di Klaten tadi, pilihan tetap realistis. Kalau alat panen bisa menghemat buruh dan cepat balik modal, ia akan ambil. Tapi kalau cuma untuk gaya-gayaan, lebih baik tetap dengan cara lama.

Di era pertanian modern ini, nasib petani tak hanya ditentukan cuaca atau harga gabah. Tetapi juga kecerdasan membaca peluang teknologi dan kemampuan menimbang untung rugi secara cermat. Sebab, seperti kata para pakar ekonomi pertanian: investasi tanpa hitungan ibarat menanam padi tanpa pupuk—takkan tumbuh maksimal.
*
Penulis adalah alumni Prodi Teknologi Industri Pertanian Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *