Jakarta | Perspektiftoday–Delirium adalah sebuah kondisi disorientasi atau kehilangan daya untuk mengenali lingkungan, terutama waktu, tempat, dan orang. Kondisi delirium ini kadang terjadi pada pasien COVID-19 usia lanjut (lansia), dan bisa pertanda sebuah kondisi yang serius.
Kondisi delirium pada pasien COVID-19 lansia
Penyakit akibat virus SARS-CoV-2 ini memang belum sepenuhnya diketahui oleh para ahli. Saat ini penelitian mengenai gejala dan kondisi terkait infeksi COVID-19 masih terus dilakukan. Salah satu kondisi akibat infeksi COVID-19 yang belum lama diketahui adalah infeksi COVID-19 bisa memicu terjadinya sindrom delirium, terutama pada pasien lansia.
Delirium disebut juga sindrom kebingungan akut yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, disorientasi, kurang perhatian, dan gangguan kognitif lainnya. Umumnya pasien akan mengalami kebingungan seperti tidak tahu ia berada di mana, tidak mengetahui perubahan waktu, dan tidak bisa mengenali orang yang ia ajak bicara.
Karena delirium ini sindrom kebingungan akut, artinya kondisi kebingungan terjadi tiba-tiba, bukan yang sebelumnya memang sudah memiliki kepikunan. Misalnya kemarin masih nyambung saat diajak bicara, tiba-tiba hari ini tidak nyambung atau tidak bisa membedakan yang sedang diajak bicara itu anaknya atau cucunya.
Kondisi kebingungan akut ini biasa terjadi pada pasien berusia di atas 60 tahun yang mengalami penyakit-penyakit berat. Kami sering mendapatkan kondisi delirium pada pasien lansia yang dirawat karena diabetes, penyakit infeksi paru, pasien menjelang operasi, dan banyak penyakit lainnya.
Saat ini kami juga seringkali menemukan kondisi delirium pada lansia yang terinfeksi COVID-19. Sayangnya sekitar 70% kasus delirium pada pasien COVID-19 masih belum terdeteksi dengan baik. Padahal delirium bisa jadi sebuah pertanda perburukan infeksi COVID-19 menuju gejala berat atau kritis.
Pada pasien non-COVID-19, delirium bahkan bisa menjadi satu-satunya tanda suatu infeksi pada lansia tanpa disertai gejala-gejala khusus.
Apa yang menyebabkan delirium pada pasien COVID-19?
Penyebab delirium pada pasien COVID-19 lansia paling banyak terjadi karena pasien mengalami hipoksia atau kadar oksigen dalam darah sangat rendah. Kurangnya pasokan oksigen ke otak ini yang berisiko mengganggu fungsi kognitif dan daya ingat pasien.
Gejala hipoksia sering terjadi pada pasien COVID-19 gejala sedang, berat, hingga kritis.
Di urutan kedua penyebab delirium pada pasien COVID-19 lansia terjadi karena adanya gangguan aliran darah ke otak. Salah satu dari banyak bahaya dari infeksi virus ini adalah menyebabkan terjadinya pembekuan darah, membuat aliran darah ke otak terhambat. Akibatnya otak tidak mendapatkan nutrisi yang cukup dan memicu terjadinya delirium.
Delirium pada pasien COVID-19 lansia juga bisa terjadi karena pasien mengalami cytokine storm atau badai sitokin sebagai respon berlebihan sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Badai sitokin ini menimbulkan zat-zat inflamasi (peradangan) mengganggu keseimbangan enzim-enzim dalam otak dan membuat terjadinya kebingungan akut.
Selain penyebab yang terjadi karena masalah pada fisiknya, delirium juga bisa terjadi karena maladaptasi. Perubahan lingkungan yang tiba-tiba membuatnya mudah bingung, misalnya di rumah terbiasa dikelilingi anak dan cucu lalu tiba-tiba dipindahkan ke ruang isolasi. Ruangan yang jauh lebih dingin daripada kamar di rumahnya, lampu yang terang, tidak ada orang yang ia kenali, dan kondisi-kondisi asing lainnya.
Gagal beradaptasi dengan perubahan lingkungan ini juga mudah membuat lansia kebingungan dan bisa menjadi salah satu pencetus delirium pada pasien COVID-19.
Penanganan delirium pada pasien COVID-19
Pasien delirium bisa ditandai dengan mengamuk dan membuat keributan, tipe ini disebut hiperaktif dan termasuk yang mudah dideteksi. Tapi tipe-tipe lain seringkali sulit untuk diketahui bahwa pasien mengalami delirium. Misalnya pada tipe hipoaktif, ada yang membuat pasien sering tertidur, membuat orang di sekelilingnya menganggap ia kelelahan atau memang ingin beristirahat.
Pertama-tama kewaspadaan pada kondisi delirium pada pasien COVID-19 harus ditingkatkan. Lansia dengan COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri harus segera dibawa ke rumah sakit karena delirium bisa jadi pertanda gejala berat tanpa disertai gejala lainnya.
Kondisi delirium tidak bersifat permanen, ia bisa kembali normal ketika penyakit dasarnya berhasil tertangani. Misalnya delirium karena adanya hipoksia, maka pasokan oksigen dalam tubuhnya harus ditangani.
Namun faktor usia membuat kondisi pulihnya kemungkinan tidak 100% kembali normal. Ada kemungkinan sisa-sisa kebingungan yang menjadi kronik dan menjadi cikal bakal pikun atau alzheimer. Tapi kita harapkan delirium pada pasien COVID-19 ini terdeteksi dengan cepat dan bisa pulih kembali.