Perspektif.today_Kita semua hafal kalimat ini sejak kecil. Ibu digambarkan sebagai samudera yang tak berbatas, penuh belaian, peluk, dan air mata. Sementara ayah? Sosok pendiam yang berjalan jauh, pergi pagi pulang malam, mengayuh hidup dengan diam. Ia jarang bicara, jarang memeluk, tapi dari punggungnya mengalir seluruh daya kehidupan rumah.

Sayangnya, di balik ungkapan itu tersimpan warisan budaya yang membuat banyak ayah menjadi sosok asing di dalam rumahnya sendiri.
Di banyak keluarga Indonesia, figur ayah sering dibentuk dalam bayang-bayang kekuasaan, bukan kehangatan. Ayah adalah pemegang keputusan terakhir, sang pemberi titah, penentu boleh-tidaknya sesuatu, sekaligus pemilik suara paling keras di ruang tamu. Kalau marah, gemetar dunia. Kalau diam, keluarlah hawa dingin yang menyergap seisi rumah.
Dalam keluarga-keluarga yang masih menyimpan pola patriarkis, kasih ayah justru muncul dalam bentuk teguran, bentakan, atau bahkan tamparan. Kasih sayangnya terbungkus dalam harapan keras: anak laki-laki harus tangguh, anak perempuan harus patuh. Laki-laki dilarang menangis. Anak-anak dilarang membantah. Yang banyak bicara dianggap durhaka.
Tak heran, banyak anak laki-laki tumbuh menjadi pria dewasa yang takut menunjukkan perasaan, kaku memeluk anaknya sendiri, kikuk berkata “Aku sayang kamu” pada istri. Karena itulah yang ia pelajari sejak kecil: cinta ayah itu sunyi, dingin, jauh. Sementara anak perempuan tumbuh penuh kecemasan: takut salah, takut bicara, takut membuat ayah kecewa.
Di momen Hari Ayah Sedunia ini, barangkali kita perlu jujur mengakui satu hal: sebagian luka batin generasi kita lahir dari cara sebagian ayah mencintai yang salah arah. Bukan karena mereka tak sayang. Tapi karena budaya mengajarkan bahwa kekerasan verbal, tekanan mental, bahkan bentakan adalah bentuk perhatian.
Sosiolog dan psikolog keluarga kerap menyebut fenomena ini sebagai “toxic fatherhood”—ayah yang tak sadar mewariskan pola kekerasan emosi ke anak-anaknya. Bentuknya beragam: memarahi anak karena nilai ulangan, membentak karena sepatu kotor, bahkan merendahkan anak di depan tamu karena “tidak tahu sopan santun”. Di ruang tamu, sang ayah bisa tersenyum lebar pada tamu; di dalam rumah, kata-katanya menjadi cambuk tak kasat mata.
Dampaknya tak main-main. Studi dari American Psychological Association menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam tekanan verbal atau psikis dari orang tua—termasuk ayah—memiliki risiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan kekerasan di relasi mereka sendiri saat dewasa.
Sayangnya, dalam banyak diskusi di Indonesia, kekerasan psikis dalam keluarga masih dianggap sepele. “Ah, wajar dimarahi bapak. Demi kebaikan anak.” Kita lupa: membentak bukan mendidik. Menghina bukan menasihati. Merendahkan bukan mempersiapkan mental.
Kasus-kasus ini adalah potret kecil dari lingkaran kekerasan yang lebih besar—yang bisa merembet ke sekolah, kantor, bahkan hubungan percintaan. Anak lelaki yang sering dibentak, tumbuh menjadi suami pemarah. Anak perempuan yang biasa dimaki, tumbuh menjadi istri yang takut berbicara. Lingkaran setan ini jarang terputus.
Padahal, di negara-negara Skandinavia, model ayah yang baik justru dibangun atas dasar kehadiran emosional, bukan otoritas mutlak. Di Swedia dan Norwegia, cuti ayah melahirkan diwajibkan agar anak-anak mengenal ayahnya sejak dini. Di Jepang, kampanye besar digalakkan untuk mengajak ayah muda berbagi tugas rumah tangga dan pengasuhan.
Lalu Indonesia? Kita masih terjebak dalam dua kutub. Ayah pendiam yang jauh di satu sisi. Ayah pemarah yang menindas di sisi lain. Jarang ada model ayah yang hadir penuh kasih tanpa kehilangan wibawa.
Maka, Hari Ayah ini seharusnya bukan hanya seremoni ucapan manis di media sosial. Bukan sekadar foto ayah di status WhatsApp. Ini momen untuk bertanya: “Apakah saya ayah yang baik? Apakah cara saya mencintai anak dan istri menyisakan luka yang akan dibawa anak saya seumur hidup?”
Bagi anak-anak, ini saat yang tepat untuk berani berkata jujur. Bahwa mereka tidak suka dimarahi atas hal sepele. Bahwa mereka ingin didengarkan. Bahwa mereka ingin dipeluk, bukan dibentak. Bahwa mereka ingin ayah hadir di meja makan, bukan hanya di dompet keluarga.
Bagi para istri, ini juga momen untuk mengingatkan suami—tanpa takut dianggap melawan—bahwa menjadi kepala rumah tangga tak berarti boleh melampiaskan stres kantor ke anak. Bahwa suara keras bukan tanda kekuatan.
Dan bagi pemerintah, ini momentum untuk menggalakkan edukasi pengasuhan ayah—seperti yang mulai dilakukan di Korea Selatan dan Finlandia—agar generasi mendatang tidak lagi tumbuh di bawah bayang-bayang kekerasan verbal orang tua.
Karena sejatinya, kasih ayah memang sepanjang jalan. Tapi apakah jalan itu lurus atau penuh lubang luka, itu tergantung sang ayah sendiri.
Kita butuh lebih banyak ayah yang tahu caranya menyentuh hati anak. Yang hadir, bukan hanya menghidupi. Yang bicara, bukan hanya memerintah. Yang mampu mengatakan “Maaf” dan “Aku bangga padamu”—kalimat sederhana yang bisa menyelamatkan generasi berikutnya dari luka batin yang tak perlu.
Di luar sana, mungkin masih banyak ayah yang merasa tak perlu mengubah diri. Mereka mengira anak-anak akan baik-baik saja, seperti mereka dulu. Tapi siapa sangka, anak-anak itulah yang diam-diam mendoakan: “Semoga aku tak menjadi ayah seperti dia kelak.”
Selamat Hari Ayah Sedunia. Semoga kasih ayah betul-betul tak bertepi. Bukan hanya sepanjang jalan. Tapi juga sepanjang hati.*
Penulis adalah Dosen Universitas Bung Hatta
