Bali | Perspektiftoday–PULAU Bali bukan hanya terkenal dengan keindahan alamnya saja, tapi juga punya tradisi, seni dan budaya yang unik sekaligus jadi daya tarik pariwisata. Hebatnya, masyarakat Bali masih tetap melestarikan adat budayanya di tengah gempuran modernisasi.
Bali bahkan memiliki wilayah desa adat, salah satunya adalah Desa Tenganan di Pengrisingan, Kabupaten Karangasem, Bali.
Disebut desa adat karena masyarakat di wilayah ini masih terus melestarikan tradisi adatnya, seperti misal tradisi mayunan.
Berikut fakta menarik tentang tradisi mayunan :
Sejarah Tradisi Mayunan
Tradisi mayunan bagian dari sasih sembah, ritual adat terbesar yang ada di Desa Tenganan. Ini merupakan ritual adat sekaligus keagamaan masyarakat Desa Tenganan yang dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada setiap sasih kalima atau bulan kelima dalam kalendar Tenganan (sekitar bulan Mei-Juni dalam kalendar Masehi).
Sasih sembah dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap Dewa Indra, dewa peperangan dalam mitologi agama Hindu Indra. Masyarakat Tenganan percaya bahwa desa mereka merupakan hadiah dari Dewa Indra.
Adapun salah satu bentuk ritual Sasih Sembah adalah ‘Perang Pandan’ , salah satu ritual adat yang juga cukup populer di kalangan wisatawan.
Jikalau Perang Pandan dilakukan oleh laki-laki, tradisi mayunan inilah ritual yang diperuntukkan bagi perempuan Desa Adat Tenganan.
Filosofi dan Makna Tradisi Mayunan
Sebagai bagian dari Ritual Sasi Sembah, Tradisi Mayunan, begitupun dengan Perang Pandan, memiliki makna yaitu sebagai Usabha Sambah atau upacara keagamaan untuk memohon keselamatan pada Tuhan.
Selain itu, Usabha Sambah ini dilakukan oleh kaum muda Desa Adat Tenganan sebagai pertanda proses menuju kedewasaan dari masa remaja.
Remaja perempuan Tenganan diharuskan menjalani tradisi Mayunan, yaitu dengan cara menaiki ayunan besar yang terbuat dari kayu.
Adapun tradisi Mayunan memiliki filosofi dan makna tersendiri. Seperti namanya yaitu Mayunan, prosesi menaiki ayunan ini melambangkan makna kehidupan yang terus berputar, kadang seseorang akan berada di atas, kadang di bawah, seiring berjalannya waktu.
Prosesi Mayunan dan Keunikannya
Tradisi Mayunan dilaksanakan usai melangsungkan Perang Pandan.
Ayunan yang terdiri dari 8 bangku tersebut ditempati oleh gadis Desa Tenganan yang disebut Daha, dengan mengenakan kain tradisional berwarna keemasan.
Sebelum menaiki ayunan, para Daha tersebut telah melalui prosesi ‘nyanjan’ yang ditandai dengan kerauhan (kesurupan) saat persembahyangan ‘Karya Pujawali’ yang dilakukan di Pura.
Untuk menggerakkan ayunan, terdapat masing-masing 1-2 orang Truna atau pemuda laki-laki di tiang penyangga ayunan yang bertugas untuk memutar ayunan yang diletakkan di halaman desa tersebut.
Adapun ayunan besar yang digunakan dalam prosesi tersebut merupakan ayunan berusia ratusan tahun yang tidak boleh sembarangan dimainkan, karena dipercaya sebagai ayunan sakral yang merupakan warisan nenek moyang masyarakat Tenganan.